Saturday, March 30, 2013



Luar biasa! Itulah perjuangan seorang pemulung yang berhasil meraih gelar sarjana berkat profesinya yang sudah dilakoninya dari masa kecil. Wahyudin adalah pemuda berusia 21 tahun yang akan diwisuda sebagai sarjana Ekonomi di bulan Desember nanti. Sekilas, dia mungkin terlihat sebagai mahasiswa biasa yang menuntut ilmu di Jurusan Akuntansi Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka). Dengan perawakan tinggi dan bersih, orang pasti terkejut jika mengetahui profesi Wahyudin sebagai pemulung. Bahkan, profesi ini telah digelutinya sejak kelas 4 SD. Hal lain yang mengejutkan bahwa dia memutuskan jalan hidup sebagai pemulung untuk membiayai sekolahnya sendiri. Dari pengakuannya, tidak mungkin melanjutkan ke SMP akibat kondisi ekonomi keluarganya. Apalagi, ia merasa cemas jika dimarahi oleh orang tuanya akibat keinginan kerasnya untuk bersekolah. Wahyudin adalah anak dari seorang ayah yang berpoligami. Sebagai anak pertama dari istri kedua, Wahyu menyadari bahwa tidak mungkin untuk mengharapkan pendidikan yang layak dari orang tuanya. Apalagi, kedua orang tuanya adalah buruh tani dengan penghasilan tidak menentu. Saat itulah, Wahyudin merelakan uang jajannya yang tak seberapa untuk ditabung. Sebagai siswa kelas 4 SD, itu adalah hal yang sangat berat. Sedangkan ia harus bisa mendapatkan tambahan sebagai tabungan. Lalu, ide tersebut berawal ketika melihat tetangganya yang menjadi pemulung bersama anaknya. Wahyu pun berniat untuk melakukan hal yang sama dan belajar memulung pada tetangganya. Awalnya, dia hanya mengambil gelas-gelas air mineral. Setapak demi setapak, ia mulai belajar mengumpulkan kaleng dan kertas bekas. Saat itu, dia pun tidak pernah menceritakan profesinya kepada orang tuanya. Sampai usia remaja, Wahyudin tidak pernah paham arti dari profesi sebagai pemulung. Satu hal yang dia pikirkan ialah bagaimana mengumpulkan pendapatan untuk digunakan sebagai tabungan bersekolah. Setelah benar-benar menyadari persepsi masyarakat mengenai pemulung, ia pun seakan tak peduli dan tetap melanjutkan aktivitasnya. Biasanya, ia memulai aktivitas memulung dari pukul 10 malam hingga dini hari dan bisa mendapatkan Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari. Ia pun selalu membaginya untuk kebutuhan sehari-hari dan tabungan. Bahkan, ia bisa masuk SMP berkat tabungannya yang dihasilkan dari ternak ayam kecil-kecilan. Selama pengalamannya sebagai pemulung, ada banyak ejekan dan tudingan akibat profesinya. Pernah pada satu kesempatan ia merasa takut karena pemulung dianggap sebagai maling. Sebagai anak kecil, hal itu sempat menimbulkan kecemasan. Namun berkat penjelasan tetangganya yang pemulung, Wahyu sadar bahwa mereka hanya mengambil sampah dan bukan barang-barang yang masih dipakai. Salah satu pengalaman yang membekas di ingatannya ialah ketika dia benar-benar gemetaran akibat kelaparan. Rasa lapar pun memaksanya untuk mencari sisa-sisa makanan di tumpukan sampah. Kini, Wahyudin telah menggapai harapan masa kecilnya. Berkat beasiswa dari kampus dan Disdik DKI, biaya kuliah menjadi ringan. Namun dia bertekad untuk melanjutkan pendidikan hingga tamat S2 dengan tetap menjadi pemulung. Selain itu, dia punya cita-cita untuk menjadi pengusaha peternakan